Pasuruan||www.cakra.or.id|| – Kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) dimaknai dalam peringatan harlah Kopri ke-57 sebagai momentum penting untuk merefleksikan situasi kekerasan terhadap perempuan dan upaya-upaya pencegahan. Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Pasuruan dengan mengadakan acara talk show di Aula PCNU Kabupaten Pasuruan, Selasa (10/12/24).
Dengan diadakannya talk show bertemakan “Kampanye 16 HAKTP”, kami menegaskan dari kalangan mahasiswa terus berkomitmen untuk mengkampanyekan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual serta pemenuhan hak-hak korban.
“Perlu digarisbawahi bahwa aksi global Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember 2024 bukan hanya sebuah perayaan. Kami mengajak semua pihak untuk kembali merefleksikan setiap upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang telah kita lakukan sekaligus mengajak untuk lebih memperluas aksi nyata pencegahan untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.
Tantangan terbesar kita hari ini dan ke depan adalah masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujar Isnawati Lujeng Lestari, ketua Satgas PPKPT sekaligus narasumber talk show di depan para jurnalis yang tergabung dalam Foru
Acara Talk show “kampanye 16 HAKTP” yang bertepatan pada harlah Kopri kali ini adalah: Lindungi semua, penuhi hak korban, akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak serta pelecehan seksual. Sebagai isu sosial saat ini yang begitu kompleks,
“Peran serta seluruh pihak sangat dibutuhkan sebagai basis utama dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Paradigma yang sama dalam memandang kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia perlu terus digaungkan, sehingga publik lebih sadar dan kasus dapat tertangani secara tuntas”. tutur Isnawati
“Untuk bisa menjadikan baseline terkait kasus atau prevalensi kekerasan terhadap perempuan ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu pihak, tetapi harus melalui kerja sama multi pihak atau pentahelix, yang melibatkan semua sektor”. kata dr. Ugik Setyo Darmoko, M.Kes., narasumber dari Sekdin P3AP2KB dalam paparannya
Proyeksi juga perlu kita lakukan selain refleksi. “Proyeksi untuk menindaklanjuti hasil overview apa yang harus ditindaklanjuti, baik dari sisi kebijakan, penguatan kelembagaan, networking, dan sebagainya,” ujar dr. Ugik
Ia juga menambahkan, “Selain kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang juga harus menjadi perhatian adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO)”. imbuhnya
KBGO menurut dr. Ugik, “Dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun lebih rentan pada anak usia remaja. Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional menunjukkan adanya peningkatan KBGO dalam 3 tahun terakhir pada kelompok usia 25-29 tahun”. pungkasnya
“Penggunaan media sosial yang sangat masif juga memiliki pengaruh, dampak, dan risiko yang cukup kuat untuk memunculkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini menunjukkan pentingnya literasi dan edukasi tentang keamanan digital kepada perempuan dan komunitas-komunitas perempuan lainnya sebagai bentuk pencegahan dan proteksi terhadap jenis kekerasan ini,” ujar Agustini Nurur Rohmah , Sekjen Kopri PB PMII Pasuruan periode 2024~2027 (narasumber lll)
Selanjutnya ia menerngkan, “Bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah yang terus terjadi, bahkan setiap harinya”. terang Agustini.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, ada 4 bentuk kekerasan terhadap perempuan yang menjadi pusat perhatian publik. Pertama adalah KDRT, kedua kekerasan seksual, KBGO, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan yang terbaru adalah femisida .
“Jika kita lihat dalam KDRT, perlu dipahami bahwa satu korban bisa mengalami satu, dua, bahkan tiga bentuk kekerasan. Bahkan, tidak hanya satu kali, tetapi bisa berulang. Selain itu, ada kekerasan seksual. Adanya UU TPKS justru membuat korban semakin berani untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami. Publik semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi. Kami mengapresiasi juga Kemen PPPA yang bekerja keras untuk itu dan menyelesaikan aturan turunan UU TPKS,” jelas Agustini.
Pada kesempatan ini, dr. Ugik Setyo Darmoko, M.Kes., Isnawati Lujeng Lestari dan Agustini Nurur Rohmah, mengajak semua pihak untuk dapat menyuarakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di mana pun berada. Menghimpun suara dan bersatu untuk melakukan kegiatan bersama demi meningkatkan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan serta perlindungan bagi korban.
“Kami semua yang hadir dalam acara ini sebagai pelopor juga sebagai pelapor, ketika menemukan tindak kekerasan terhadap perempuan maupun pelecehan seksual, wajib kita laporkan..!!”, seruan dr. Ugik.
Diakhir acara ada penandatanganan deklarasi anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta penyerahan piagam penghargaan.
Ichwan