CAKRA.OR.ID | Jember – Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK Swasta se-Kabupaten Jember tengah menjadi sorotan tajam setelah penetapan iuran organisasi tahun 2025 yang dinilai memberatkan para kepala sekolah. Dengan ketentuan iuran sebesar Rp17.000 per siswa per tahun, total dana yang terkumpul dari 174 SMK swasta diperkirakan mencapai lebih dari Rp1,1 miliar. Ironisnya, di tengah besarnya jumlah dana tersebut, muncul tanda tanya besar mengenai transparansi dan tujuan penggunaannya.
Penetapan iuran tersebut seperti yang media ini dapatkan, tertuang dalam Surat Pemberitahuan Ketua MKKS Kabupaten Jember Nomor 42/MKKS-SMKS-Jbr/I/2025, yang diterbitkan pada 30 Januari 2025. Dalam surat tersebut, seluruh kepala sekolah diwajibkan melunasi iuran paling lambat akhir Februari 2025. Data dari DAPODIK Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur mencatat jumlah siswa SMK swasta dari kelas 10 hingga 13 mencapai 67.300 orang. Dengan demikian, total iuran yang dikumpulkan mencapai Rp1.144.100.000 (satu miliar seratus empat puluh empat juta seratus ribu rupiah).
Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah, untuk apa dana sebesar itu digunakan? Apakah dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan atau justru untuk kepentingan lain yang tidak transparan?
Ironisnya, di tengah polemik mengenai iuran tersebut, MKKS Kabupaten Jember pada hari ini, Rabu, 12 Maret 2025, mengadakan acara yang cukup mewah di Rumah Makan Cianjur Hall, Perumahan Argopuro Boulevard Kaliwates, Jember. Acara yang bertajuk “Rundown Anggota” itu diisi dengan kegiatan buka bersama dan pembagian parcel kepada para anggota.
Acara ini menimbulkan berbagai spekulasi dan kritik tajam dari banyak pihak, terutama dari para kepala sekolah yang merasa terbebani dengan kewajiban iuran tersebut. Tidak sedikit yang mempertanyakan relevansi dan urgensi dari kegiatan semacam ini, di tengah keharusan membayar iuran yang dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap para kepala sekolah.
Dalam surat pemberitahuan yang sama, tertera bahwa besaran iuran sebesar Rp17.000 per siswa per tahun diduga berkaitan erat dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima oleh masing-masing SMK swasta. Berdasarkan ketentuan, setiap siswa SMK swasta menerima dana BOS sebesar Rp1.610.000 per tahun.
Namun, terdapat dugaan kuat bahwa iuran yang dipungut oleh MKKS tersebut tidak lain adalah bentuk “upeti” kepada pengurus yang selama ini dianggap berjasa dalam memperjuangkan perolehan Dana BOS untuk sekolah-sekolah swasta di Jember. Dengan kata lain, iuran tersebut seolah menjadi semacam ‘pungutan wajib’ yang harus dipenuhi sebagai bentuk balas jasa.
Jika benar demikian, maka hal ini sangat memprihatinkan. Para kepala sekolah SMK swasta yang selama ini berjuang keras dalam mengelola sekolah dengan segala keterbatasan dana, kini dihadapkan pada beban baru berupa kewajiban menyetor iuran yang tidak jelas penggunaannya.
Lebih jauh, isu lain yang tak kalah mencengangkan muncul terkait intimidasi terhadap kepala sekolah yang enggan memenuhi kewajiban iuran. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kepala sekolah yang menolak atau terlambat membayar iuran kerap mendapat tekanan, bahkan diancam akan dilaporkan ke aparat penegak hukum atas dugaan pelanggaran administratif atau keuangan di sekolah.
“Sudah sering terjadi, kepala sekolah yang membangkang justru dilaporkan ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lalu diperiksa aparat hukum. Ada saja kesalahan yang dicari-cari. Ini menjadi teror tersendiri bagi kami,” ungkap narasumber media ini kemarin.
Jika fenomena ini benar adanya, maka hal ini bisa dikategorikan sebagai bentuk penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum-oknum tertentu di tubuh MKKS.
Menyikapi kondisi ini, banyak pihak mendesak agar penggunaan dana iuran tersebut diaudit dan dipublikasikan secara transparan kepada seluruh anggota MKKS. Selain itu, diperlukan investigasi yang mendalam dari pihak berwenang untuk memastikan tidak adanya praktik pungutan liar atau penyalahgunaan wewenang.
“Penggunaan dana sebesar itu harus jelas. Jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan dana iuran untuk kepentingan pribadi atau kegiatan yang tidak bermanfaat bagi dunia pendidikan,” tegas Miantho Warsito,SH seorang pengamat dan pemerhati pendidikan di Jember.
“Saya menilai bahwa sistem iuran semacam ini perlu ditinjau ulang atau bahkan dihapuskan jika hanya menambah beban kepala sekolah tanpa memberikan manfaat nyata bagi peningkatan mutu pendidikan di Jember,” tegasnya kepada wartawan media ini.
Kasus ini juga menjadi sorotan pemerhati hukum sekaligus advokat senior, Aris Fiana,SH. “Betapa rawannya pengelolaan organisasi pendidikan jika tidak diiringi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Di satu sisi, iuran organisasi bisa menjadi alat untuk memperkuat solidaritas dan mendukung program-program pendidikan. Namun, jika disalahgunakan, iuran tersebut justru bisa menjadi alat penindasan dan menciptakan ketimpangan di lingkungan pendidikan,” paparnya.
Kini, semua pihak berharap agar polemik ini segera mendapatkan penyelesaian yang adil dan berpihak pada kepentingan pendidikan. Sebab, dunia pendidikan sejatinya harus menjadi tempat yang bersih dari praktik-praktik yang menciderai integritas dan moralitas.
Idham