Situbondo ,Cakra.or.id – Kabupaten Situbondo kembali dilanda bencana banjir yang merendam sejumlah wilayah, mengganggu kehidupan warga, merusak infrastruktur, dan mengancam stabilitas ekonomi lokal. Namun, bencana ini bukan sekadar fenomena alam yang datang tiba-tiba.,Di balik genangan air yang menguasai pemukiman dan lahan pertanian, tersembunyi kisah kelam tentang eksploitasi hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum serakah, abai terhadap hukum dan masa depan ekosistem.
Ketua LBH Cakra Situbondo, Nofika Syaiful Rahman (Opek), secara tegas menyoroti hal ini: “Ini bukan bencana, ini konsekuensi dari kejahatan lingkungan yang sistematis.”Pungkasnya
Banjir di Situbondo bukan sekadar akibat curah hujan tinggi,Menurut Data dari laporan warga mengungkap fakta pahit, kawasan hutan yang seharusnya menjadi penahan air dan pelindung ekosistem telah berubah menjadi lahan gundul akibat penebangan liar, alih fungsi lahan, dan praktik perambahan yang melibatkan oknum tak bertanggung jawab.
Opek menegaskan“Ini bukan lagi kasus ‘oknum’, tapi ada Dugaan sistem yang membiarkan perusakan hutan terjadi. Di balik setiap pohon yang tumbang, ada jaringan yang diuntungkan.”Tegasnya
LBH Cakra mencatat, Sejumlah kawasan hutan di Situbondo dalam kondisi kritis. Padahal, hutan berfungsi sebagai daerah resapan air yang vital, Ketika hutan hilang, tanah kehilangan kemampuannya menyerap air hujan, dan banjir pun menjadi tamu rutin yang menghancurkan, Sayangnya, upaya restorasi seringkali dikalahkan oleh kepentingan bisnis jangka pendek, seperti perluasan lahan perkebunan ilegal atau proyek infrastruktur tanpa analisis lingkungan yang matang.
Pertanyaan kritis yang diajukan Opek patut menjadi refleksi bersama“Dimana peran pemerintah dan penegak hukum ketika hutan dikorbankan? Meski aturan tentang perlindungan hutan jelas tertuang dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, implementasinya di lapangan lemah. Pengawasan minim, sanksi bagi perusak hutan tidak maksimal, dan transparansi kebijakan tata ruang dipertanyakan. Akibatnya, pelaku perusakan lingkungan merasa aman—bahkan mungkin dilindungi karena hukum tidak bergigi ,” ucapnya
Banjir Situbondo seharusnya menjadi alarm darurat bagi pemerintah daerah. Namun, respons yang ditunjukkan masih sebatas penanganan darurat: distribusi bantuan, pompa air, dan janji normalisasi sungai. Padahal, tanpa upaya serius memulihkan hutan dan menindak tegas perusaknya, bencana ini akan terus berulang. “Kami tidak butuh retorika. Kami butuh tindakan nyata, pengadilan bagi perusak hutan dan audit menyeluruh terhadap izin-izin yang meragukan,” tegas Opek.
Banjir Situbondo adalah contoh nyata bagaimana keserakahan manusia menciptakan bencana berantai, Hutan yang ditebang bukan hanya merenggut habitat satwa, tetapi juga membunuh masa depan manusia. Setiap hektar hutan yang hilang adalah utang ekologis yang harus dibayar oleh generasi mendatang.
Ironisnya, masyarakat kecil Seperti petani, nelayan, dan warga miskin yang paling menderita ,Mereka kehilangan rumah, panen, dan akses air bersih, sementara para perusak hutan mungkin tetap lepas dari jerat hukum ,Jika pemerintah tidak segera bertindak, bencana ini tidak hanya akan merusak lingkungan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap otoritas yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan alam.
Pemerintah harus mengubah paradigma: bencana alam tidak bisa lagi dijadikan tameng untuk menutupi kelalaian mengurus lingkungan , Langkah konkret harus diambil:
1. Penegakan hukum tanpa tebang pilih terhadap perusak hutan, termasuk mengusut keterlibatan aparat atau pihak berwenang.
2. Mempercepat restorasi hutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal dan lembaga independen.
3. Membuka akses transparansi kebijakan tata ruang dan izin penggunaan lahan untuk mencegah manipulasi.
Banjir Situbondo adalah cermin kegagalan kita menghargai alam“Jika hutan dianggap sebagai komoditas, bukan sebagai napas kehidupan, maka bencana ini hanya awal dari petaka yang lebih besar.
SGT/TigaLimaKosong