Diskusi Lesehan : Tambang Situbondo, Titik Koordinat Kabur, Reklamasi Menguap, dan Janji CSR yang Sirna

Redaksi

Oleh: Azis Chemoth

Situbondo, 17 Juli 2025 , Cakra.or.id
Aroma kopi tubruk menyengat udara malam Situbondo, bercampur dengan asap rokok yang mengepul di ruang tamu sederhana. Lima pria, wajah-wajahnya menggambarkan keprihatinan yang jauh lebih dalam daripada kerutan di dahi mereka, duduk lesehan di lantai keramik dingin. Bukan di ruang rapat ber-AC, bukan di meja bundar yang megah, perdebatan sengit soal tambang di Situbondo ini berlangsung di tempat yang lebih jujur: di tengah masyarakat yang langsung merasakan dampaknya.

Topiknya: Membahas Aktivitas Tambang Galian C Di Kabupaten Situbondo Bukan diskusi akademis, melainkan jeritan hati yang terpendam ,Garis batas konsesi tambang Galian C bagaikan hantu gentayangan; kabur, tak jelas, dan menghantui warga.

Lembaga Pemerintah Terkait yang seharusnya memegang peta konsesi yang jelas, seakan menghilang ditelan bumi. Petanya di mana? Pertanyaan ini menggantung di udara, sama beratnya dengan beban ekonomi yang dipikul warga akibat kerusakan infrastruktur dan pencemaran lingkungan.

Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tambang Galian C , Janji manis yang tak pernah terwujud. “Katanya besar, tapi tidak pernah terasa,” ujar salah seorang peserta diskusi, suaranya berat penuh kekecewaan dan OPD terkait apakah mereka sibuk menghitung angka-angka fiktif, ataukah memang sengaja membiarkan kekayaan daerah raib tanpa jejak?

Titik Koordinat lokasi tambang menjadi teka-teki yang menggelikan. Angka-angka yang seharusnya presisi, malah seperti hantu yang muncul dan hilang sesuka hati. Komisi III DPRD, DLH, DPUPP, dan APH Serta Instansi Terkait Lainnya dianggap gagal menjalankan tugas pengawasan. Koordinasi seremonial tak cukup; dibutuhkan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah Titik koordinat yang amburadul ini. Ketiadaan transparansi ini membuka celah bagi praktik-praktik ilegal.

Baca juga
Tersangka Dugaan Kekerasan Seksual: Kuasa Hukum Pertanyakan Dasar Penetapan Klien sebagai Tersangka

Reklamasi ? : Kata itu hanya tinggal kenangan pahit, sebuah mimpi kosong yang terlukis indah dalam proposal proyek dan papan nama. Bekas galian menganga bagai luka menganga di tubuh bumi Situbondo menjadi saksi bisu ketidakpedulian para pemegang otoritas. Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan ini menggema tanpa jawaban yang memuaskan ,Kewenangan dan kewajiban yang ada, hanya dipenuhi dengan kalimat-kalimat normatif yang hampa makna.

Jalan rusak akibat lalu-lalang truk pengangkut material, polusi udara yang mencekik, dan ketidakjelasan legalitas operator Alat Berat tambang, menambah derita warga ,DPRD Komisi III, Dishub, ESDM, DLH, dan penegak perda, seharusnya unjuk kerja, bukan unjuk baju dinas , Mereka telah Di Gaji Oleh Negara Namun gagal melindungi masyarakat dari dampak negatif industri ekstraktif ini.

Puncak kekecewaan terlontar saat pembahasan CSR. “Katanya ada, tapi siapa yang dapat?” Suara pertanyaan itu menggantung, lebih berat daripada suara ekskavator yang menggerus bumi. Janji-janji manis perusahaan tambang yang hanya tinggal janji.

Diskusi lesehan ini adalah cerminan kegagalan pengawasan dan implementasi regulasi di sektor pertambangan Situbondo ,Warga dengan inisiatif sendiri, tanpa anggaran dan panggung, mengungkapkan kegelisahan mereka. Mereka, yang duduk bersila di lantai keramik dingin, mungkin lebih berdampak daripada mereka yang duduk di podium mewah, karena mereka adalah suara hati nurani yang terabaikan. Tambang mungkin menggali bumi, tetapi diamnya Pihak Terkait telah menggali luka yang lebih dalam di hati masyarakat Situbondo. Ini bukan sekadar diskusi, melainkan tuntutan untuk keadilan dan transparansi.

YoPy