Pameran tunggal karya-karya lukisan Ketut Adi Candra di NW Art Space pada 29 September – 29 Oktober 2023 mengangkat tema “Sangkala”. Sangkala diartikan sebagai Sang Kala atau Sang Waktu. “Sang Waktu” inilah yang diungkapkan dalam karya-karya lukisan Ketut Adi Candra yang bergenre abstrak. Ketut Adi Candra lahir di Singapadu pada tahun 1973, mengenyam pendidikan seni rupa si SMSR dan ISI Denpasar, Bali. Selama 25 tahun

Adi Candra aktif berkarya dan berpameran. Pameran “Sangkala” di NW Art Space kali ini merupakan pameran tunggalnya yang ke-8.

Kepada awak media CAKRA.OR.ID,.Ketut Adi Candra berkisah, “Pada proses yang cukup panjang, sekitar 6 tahun, saya pernah mengalami kehilangan diri.

“Semuanya serba tak bisa dimengerti. Waktu itu sekitar awal 2008-an sampai 2014-an, saya masih melukis dalam gaya dekoratif, kemudian membuka galeri di Ubud.” Perjalanan kesenimanan Ketut Adi Candra naik-turun drastis, timbul dan tenggelam. Mendapat penghasilan lebih dari cukup, tetapi hidupnya selalu merasa kurang. Saya dilanda kecemasan dan pikiran saya selalu tidak terkontrol. Sampai suatu saat saya mendapat wejangan dari Guru saya, bersyukurlah. Di lain waktu, saya mendapat pengarahan dari Paman supaya melukis abstrak,” kata Sang Pelukis Bali tersebut.

Karya-karya lukisan abstrak Adi Candra secara umum memperlihatkan nuansa gelap hitam. Nuansa itu terbentuk dari blok dan gradasi warna hitam dengan warna kuning, ditambah warna-warna aksen yang terdiri dari warna emas, merah, putih, biru muda, jingga, ungu dan lainnya.

Simbol yang paling menonjol dalam karya-karya lukisannya antara lain: kain Bali yang disebut ‘saput poleng’ dan rerajahan, sedangkan blok dan gradasi berwarna hitam itu erat kaitannya dengan pengungkapan pengalaman dirinya mengenai perjalanan waktu. Istilah ‘saput’ memiliki arti kain yang membalut.

Sedangkan istilah ‘poleng’ adalah sebutan untuk saput yang berwarna hitam-putih yang merupakan simbol keseimbangan alam. Kain dengan warna hitam-putih disebut ‘Rwa Bhineda’ yang secara filosofi mengajarkan bahwa di dunia ini dibangun oleh dua hal yang berlawanan tetapi tidak bisa dipisahkan seperti baik-buruk, siang-malam, panas dingin dan seterusnya.

Makna dari ‘Rwa Bhineda’ adalah mengajarkan kehidupan yang seimbang. Putih diartikan sebagai kesadaran dan kebijaksanaan, sedangkan warna hitam adalah lawannya. Hal itu telihat pada karya lukisan “Sandyakala” 90 x 140 cm (2023), Ketut Adi Candra mengetengahkan nuansa gelap kemerahan di bagian atasnya, disertai simbol ‘saput poleng’ sebagai gambaran siang dan malam.

Terdapat warna merah dibagian pojok atas sebagai gambaran waktu senja, serta aksen-aksen torehan dan sapuan warna jingga, kuning, biru dan putih dengan sapuan, ditambah tulisan ‘rerajahan’ sebagai gambaran akivitasnya sebagai pemangku agama. Dalam tradisi Bali, karya lukisan itu mengutarakan suatu pepatah leluhur mengenai suatu larangan beraktivitas dalam waktu-waktu tertentu. Kata orang-orang tua dahulu, orang yang berkeliaran di waktu magrib (sandyakala) akan dimakan Kala. Dalam tradisi orang Sunda ditegaskan dengan sebutan ‘pamali’.

Dalam karya “Irama Waktu” 120 x 100 cm (2023) terlihat dekonstruksi ‘shadow’nya demi mendapatkan jalan keselamatan, seperti terungkap melalui simbol tambah (+) yang disebut ‘safeti’. Dalam tradisi Al Kitab ‘safeti’ disebut soteriology, suatu upaya mendapatkan keselamatan melalui pemahaman yang benar, yang memiliki hakikat dalam dirinya sendiri (svabhava) (Inada: 1970: 8).

Lukisan “Tarian Sang Waktu” 90 x 140cm (2023) mengungkapkan hakikat mengenai pasang-surutnya kehidupan yang sudah diatur oleh waktu. Simbol ‘saput poleng’ yang hadir mengungkapkan tentang berbagai kejadian yang berlawanan, yang sudah diatur oleh waktu. Waktulah yang menjadi pembatas masa jaya, masa terpuruk, yang itu tidak bisa ditawar, tidak bisa dirubah, tidak bisa menggunakan logika perhitungan matematis.

Akhirnya ia kembali mengandalkan kekuatan intuisinya. Aksen warnawarni yang tergores pada bidang lukisan memberi isyarat penting untuk bisa mendengarkan perasaannya.

Dalam lukisan “Berbahagia dalam Keheningan” 100 x 140 cm (2023) terungkap kedamaian pelukisnya yang sudah menemukan dirinya. Dalam teori psikologi disebutkan seseorang yang sudah menemukan diri sendiri akan merasa tenang dan tentram ketika berada di tempat yang sunyi. Ia bisa berkontemplasi sehingga menemukan makna hidupnya.

Karya lukisan yang berjudul “Contemplation” 150 x 100 cm (2023) yang mengungkapkan tentang makna perenungan. Ia sadar akan pentingnya memahami ‘Rwa Bhineda’. Hadirnya sifat keberlawanan tiada lain adalah konsepsi keseimbangan. Melalui ‘kontemplasi’ kita akan mengerti apa sebenarnya hidup ini, persoalan-persoalan yang timbul dan jalan penyelesaiannya, sampai kepada maknanya. Bahwa apa yang tercermin dalam pengalaman batin seperti kebijaksanaan, mesti menjadi dasar perilaku kita dalam bermasyarakat.

Dekonstruksi Waktu Karya-karya lukisan abstrak Ketut Adi Candra adalah gambaran pencarian dirinya selama terikat oleh waktu guna mencari hakikat hidup yang disebutnya ‘keseimbangan’. Proses terjadinya keseimbangan pasti melibatkan sisi gelap dan sisi terang dalam kehidupannya.

Sisi gelap dalam pandangan teori Psikologi Analitik Jung disebut shadow, sedangkan sisi terang disebutnya ‘individuasi’, yaitu: ‘proses’ menjadi diri sendiri atau ‘realisasi diri’ (Jung, 2018: 150). Maka analisis kaya-karya abstraknya saya menggunakan teori dekonstruksi ‘waktu’, suatu upaya pencapaian ‘individuasi’. Proses dekonstruksi ‘waktu’ dilakukan dengan membongkar terjadinya ‘shadow’ dalam menata individuasinya. Shadow terjadi karena aktivitas ‘libido’ yang selalu menjadi problem moral karena selalu menantang kepribadian (psyche).

Tidak ada seorang pun dapat menyadari shadow-‘libido’nya tanpa usaha moral yang kuat (Jung, 1987: 99).
‘Waktu’ perjalanan inilah yang didekonstruksi oleh Ketut Adi Candra untuk mendapatkan keseimbangan kepribadiannya. Dekonstruksi dalam pandangan Derrida bisa dijelaskan sebagai suatu tindakan yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran atau organisasi dari suatu objek.

Terdapat tiga point penting dalam dekonstruksi, yaitu: pertama, dekonstruksi karena peristiwa terjadi terus-menerus dan karenanya terjadi cara yang berbeda-beda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dalam sistem-sistem hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu alat atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subjek interpretasi (Sugiharto, 2018: 32).

Dekonstruksi dalam falsafah Timur dilakukan mulai abad ke-1 dan ke-2 Masehi melalui pandangan Nagarjuna. Menurut Nagarjuna, ”penderitaan” disebabkan oleh ketidaktahuan, yakni suatu pandangan yang berangkat dari suatu pengertian yang keliru terhadap realitas.

Realitas seharusnya dipandang sebagai arus yang bergerak tetapi tidak mempunyai inti yang bersifat permanen sehingga inti dari kenyataan adalah aunya (“kosong”). ”Penderitaan” terjadi karena sikap hidup yang berlatar belakang ketidaktahuan, karena menganggap realitas seolah memiliki inti yang bersifat soteriologis.

Apabila ditinjau dengan kerangka pemikiran Derida dan Nagarjuna dapat dikatakan, bahwa Ketut Adi Candra melalui karya-karyanya melakukan dekonstruksi terhadap pengalamannya yang terkurung oleh ‘waktu’ untuk mencapai soteriology dalam arti mengupayakan keselamatan melalui pemahaman yang benar, yaitu segala sesuatu memiliki hakikat dalam dirinya sendiri (svabhava) (Inada, 1970: 8). Kita sedang berada dalam kerangka asal-usul kita sebagai aunyata (kekosongan).

Aunyata merupakan suatu bentuk, bukan pemikiran atau pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Pengisian ‘aunyata’ inilah yang bisa dijadikan ‘jalan tengah’ (Inada: 1970:8). Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai ‘individuasi.

Temuan Svabava Karya-karya abstrak Ketut Adi Candra tercipta melalui proses perenungan, layaknya para seniman tempo dulu yang melakukan semedi atau tapabrata untuk menemukan hakikat dalam diri (svabava). Ketut Adi Candra kerap melakukan yoga dan meditasi untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat hidup dalam menyambut kematian. Bahwa mati adalah suatu hal yang sangat berarti, karena mencakup tujuan utama hidup kita. Bahwa kehidupan di dunia ini adalah mempersiapkan kematian kita.

Karya-karya lukisan Ketut Adi Candra merupakan proses pengisian realitas. Ia adalah seorang seniman yang sekaligus menjadi pemangku agama di tengah masyarakatnya. Ia dengan kesadaran penuh selalu berpikir tentang mengisi hidup supaya bermakna. Perjalanan hidup yang dijalaninya diyakini sebagai irama alamiah sebagai kodrat dari Yang Maha Kuasa.

Reporter : Eko Marwanto

Iklan

error: