Oleh: E.M.Handi

Dari sebuah diskusi bertiga, E.M. Handi, Istrinya dan seorang dalang muda, sebut saja Baptista De La Sukana, tiba-tiba istri E.M. Handi menceritakan sebuah hikayat tiga ekor ikan yang saling berdebat keras tentang dimanakah mereka bisa menemukan air. Perdebatan tersebut tak hanya sekedar perang mulut, melainkan sampai pada adu fisik.

Kemudian mereka bertemu dengan sebuah tunggul (tunggak pohon) yang masih hidup dan sebagian besar bagian tunggul tersebut terendam air. Lalu ketiga ekor tersebut sepakat mengakhiri perdebatan dan kemudian bertanya kepada Si Tunggul, “Ooo … Tuan Tunggul, tentunya engkau sudah sangat lama tinggal di tepian danau ini, batangmu saja sudah sangat besar. Tuan Tunggul, tolong tunjukkan kepada kami… dimanakah kami bisa mendapatkan air. Kemanakah kami harus menuju untuk mendapatkan air?”
Ikan lainya menimpali : “Ooo Tuan Tunggul, tolonglah kami yang tersesat ini. Tunjukkanlah kepada kami dimanakah kami akan mendapatkan air. Sebab kami akan mati jika kami tidak segera menemukan air.”
Ikan ketiga memelas memohon : “Tolonglah kami Tuan Tunggul selamatkan kami.”

Si Tunggul menjawab dengan tegas dan ketus, namun dengan suara berat sehinnga tidak melukai hati ketiga ikan tersebut, “Ku perhatikan dari kedalaman tadi sampai ke tepian sini kalian ribut saja berdebat perkara air. Bahkan menimbulkan kegaduhan adu fisik sehingga lumpur di dasar air teraduk-aduk!”

“Air tidak akan kalian temukan dengan keributan, bahkan tanpa jarak di depan mata kalian pun tidak akan bisa kalian temukan jika dengan kegaduhan.” “Berdiamlah dalam hening satu menit saja, maka kalian akan segera menyadari bahwa kalian sedang berada di dalam air yang selama ini kalian cari!”.

Demikianlah kisah tiga ekor ikan yang mencari air, seperti halnya manusia yang mencari Tuhan dengan keributan debat sana-sini dan kegaduhan bentrok sana-sini tentang doa, tata cara, konsep ajaran. pewahyuan, nama tuhan, kiblat dan arah sembah, hiruk pikuk kegaduhan itu tidak akan bisa merasakan dan menyadari bahwa Tuhan sudah setiap saat ada di dalam diri dan di luar diri. Di depan mata, di dalam telinga, di aliran nafas, di dalam akal budi.

E.M. Handi, istrinya dan dalang muda mereka terdiam dalam keheningan. Bedanya dalam diam E.M. Handi beranjak mengambil kuas dan mendekati tumpukan cat dan disitu sudah bersandar Kanvas yang sudah siap di corat-coret. E.M. Handi memulai goresan-goresan cat diatas kanvas. Dan ketika muncul goresan tiga ekor ikan, spontan dalang muda itu berkata sambil cengengesan, “Situne tu pancen asu sekali kok kang… cerita hikayat yo isa dadi karya ki lho… asu tenaaaan… whekekekekekke….”

“Sebuah kedalaman sangatlah layak di arsipkan dan di dokumenkan oleh coretan-coretan kuas di atas kanvas to dimas… wkwkw….” tukas E.M. Handi menimpali celoteh Si Dalang muda.

Iklan

error: