Pantangan-pantangan dalam perhitungan tradisi jawa bukanlah mitos. Apalagi sekedar gugon tuhon belaka, yang dipandang sepele kemudian di abaikan. Leluhur jawa adalah suatu kaum yang sangat realistis, yang mengamati permasahan-permasalahan hidup (sosial konflik) dengan sangat teliti.
Melakukan penelitian-penelitian (riset) terhadap permasalahan-permasalahan hidup manusia tersebut kemudian diteliti selama beratus-ratus tahun dan melakukan kaderisasi-regenerasi (anak dan atau murid) untuk melanjutkan dan menyempurnakan penelitiannya tersebut.
Sehingga hasil rumusan penelitian tersebut bisa dipertanggung jawabkan dan digunakan untuk mengatasi permasalahan hidup manusia.
Ki Wiratirta menegaskan kepada awak media Cakranews bahwa teori-teori terkait larangan pernikahan masih banyak didapat pada buku-buku primbon. Dan buku-buku primbon tersebut ditulis bukan oleh orang-orang sembarangan. Mereka adalah para Empu Sastra yang juga adalah para ilmuwan di jamannya.
Dengan emosional Ki Wiratirta menyampaikan bahwa “Pernikahan adalah sebuah keputusan besar dalam hidup manusia, dimana masing-masing calon mempelai akan beikrar dihadapan Hyang Esa Tunggal, dihadapan semesta, dihadapan para leluhurnya, dihadapan orang tuanya, dihadapan keluarga besarnya dan dihadapan publik yang menyaksikan ikrar tesersebut.
Yang berarti calon mempelai akan selain akan menempuh nilai-nilai sakral, juga akan menempuh realitas kehidupan di dalam rumah tangganya.
Membangun sebuah keluarga besar, mepersatukan kedua belah pihak keluarga besar calon mempelai beserta dengan segala potensi masa depan dan resiko sengkala-sukerta yang akan dihadapi (bukan hanya sekedar penyatuan dua pribadi yang akan menikah saja).
Bagi kedua calon mempelai akan saling bersepakat menjalani hidup bersama berumah tangga dalam satu ikatan sampai akhir usianya dan Melahirkan wiji-wiji utama, generasi penerus kehidupan…!”
Resiko sukerta-sukerta ini nantinya bukan hanya paca calon yang akan menikah saja yang menanggungnya, tapi berimbas juga pada kedua belah pihak keuarga besar.
Resiko ekonomi, resiko kesehatan dan bahkan resiko kematian yang akan dihadapi oleh orang tua dan saudara kandung. Maka hal inilah yang diriset oleh para Empu atau Pujangga (para ilmuwan di jamannya) dengan cara menandai, mengkaji, melakukan penelitian apakah hal tersebut (pelaku pernikahan dengan kasus yang sama juga mengalami hal yang sama) kemudian merumuskan. Setelah mengalami proses yang panjang dan olahan yang matang, maka diberlakukan aturan atau larangan yang kemudian disebut “pantangan” sebagai langkah preventif agar generasi selanjutnya tidak mengalami kasus (kesialan, kesengsaraan dan bahkan resiko kematian) yang sama dengan pendahulunya.
1.PANTANGAN PERNIKAHAN DI BULAN SURO
Bagi orang jawa, bulan suro adalah bulan suci, yang oleh kebanyakan orang jawa digunakan untuk ritual permohonan dan memulai prihatin. Dan biasanya melakukan pernikahan di bulan suro akan mendapat berbagai petaka, diantaranya, terlilit hutang, sakit keras dan kematian pada salah satu pengantin dan atau keturunannya.
Hari paling keramat atau Puncak Petaka di bulan suro, dalam penanggalan jawa adalah 6, 11, 14, 17, dan 27 yang jatuh jatuh bertepatan pada rebo pahing. Hari tersebut adalah waktu Shang Kala berkuasa penuh atas waktu dan dimensi alam raya. Dan jika hal tersebut dilanggar (rabu pahing yang jatuh pada tanggal 6, 11, 14, 17, dan 27 pada sistim penanggalan jawa) maka akan memakan banyak korban jiwa.
2.PANTANGAN PERNIKAHAN JILU
Istilah jilu tentunya masih sangat familier di telinga kalangan masyarakat jawa, terutama para praktisi dan penggiat tradisi jawa. Ada dua kategori dalam istilah jilu, yaitu :
• Siji telu, calon mempelai adalah anak pertama dan anak ketiga.
• Siji jejer telu, ada tiga anak pertama di kedua pihak keluarga calon mempelai, misalnya kedua mempelai adalah anak pertama dan salah satu dari kedua pihak orang tua calon mempelai ada anak sulung. Atau salah satu calon mempelai adalah anak pertama dan di kedua belah pihak orang tua calon mempelai ada dua anak sulung.
Jika jilu ini dipaksakan maka akan mendatangkan petaka :
• Konflik berkepanjangan
• Hidup berkekurangan secara ekonomi, sekeras apapun berusaha akan tetap jauh dari cukup.
• Rumah tangga pasangan akan selalu berpindah-pindah tempat karena permasalahan ekonomi dan terlilit hutang.
• Kedua belah pihak orang tua akan mengalami sakit parah berulang-ulang silih berganti bahkan akan ada yang sampai meninggal.
3.PANTANGAN PERNIKAHAN TUMBAK-TUMBAKAN
Pantangan menikah bagi orang jawa yang rumahnya berhadap-hadapan, misalnya satu menghadap selatan yang lain menghadap utara. Hal ini akan mendatangkan masalah serius di pertengahan pernikahan :
• Kesulitan ekonomi
• Perselingkuhan
• Perceraian
Hal ini dapat di bisa di antisipasi dengan cara : salah satu calon mempelai merenovasi merubah arah rumahnya. Atau salah satu orang tua bersedia membuang anaknya, sehinnga calon pengantin tersebut nantinya akan diangkat oleh kerabat dekatnya yang tentunya rumahnya tidak berhadap-hadapan dengan calon pasangannya.
4.PANTANGAN PERNIKAHAN KEBO MULIH KANDANG
Salah satu calon mempelai memiliki tempat lahir yang sama dengan salah satu calon mertua, Misalnya, Ibu Si Suto berasal dari kampung Gending yang merantau ke Surabaya, kemudian menikah dan melahirkan Si Suto, setelah Si Suto dewasa bertemu dengan Si Suti yang berasal dari kampung Gending, satu kampung dengan asal Ibu Si Suto.
Jika hal ini dipaksakan untuk menikah, di pertengahan pernikahan akan mengalami kejadian-kejadian luar biasa dan sangat berat :
• Pada awal pernikahan, biasanya akan di hentakkan dengan ekonomi yang lumayan. Namun terjadi ketimpangan perhatian terhadap orang tua, berat sebelah condong ke satu pihak. Dan pihak lain tidak berdaya, hanya bisa meratap, nelangsa sendiri.
• Kedua belah pihak keluarga sakit-sakitan silih berganti.
• Pertengkaran berkepanjangan, berpotensi perceraian baik cerai hidup atau cerai mati.
• Akan terjadi badai hambatan ekonomi, terlilit hutang, sakit-sakitan,
Hal ini akan berakhir setelah anak-anaknya mandiri (bekerja / menikah).
5.PANTANGAN PERNIKAHAN DENGAN PERHITUNGAN WETON TIDAK COCOK
Weton adalah perhitungan hari lahir seseorang yang didapat dari penggabungan dari hari lahir dengan pasaran.
Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9, Minggu 5, Senin 4, Selasa 5.
Legi 5, Paing 9, Pon 7, Wage 4, Kliwon 8.Wiji = Pernikahan yang membawa keberuntungan, akan mendapatkan keturunan (anak-anak) bagus, menjadi orang yang berbakti pada orang tua, berguna bagi orang banyak dan akan mengangkat derajat dirinya sendiri beserta orang tuanya.
Sri = pernikahan yang akan dinaungi kemujuran dalam hal kerejekian
Pegat = pernikahan yang nantinya akan mengalami permasalahan rumit dan berkepanjangan yang berujung pada perceraian.
Lara = pernikahan yang selalu mengalami permasalahan sakit, sakit rejeki, sakit sosial (pertemanan/jejaring), sakit fisik.
Pati pernikahan yang nantinya akan mengalami kematian (habis-habisan), mati rejekinya, mati pertemannya (sosial) dan bahkan kematian secara fisik
Perhitungan weton perjodohan ini ada beberapa metode, salah satunya adalah sebagai berikut :
Suto lahir selasa wage, selasa 3, wage 4, jumlah 7
Suti lahir minggu kliwon. Minggu 5, kliwon, 8, jumlah 13
7 + 13 = 20, dibagi 5, sisa 0 atau habis, maka sisanya tersebut di hitung dengan (wiji, sri, pegat, lara, tumpes).berarti pernikahan tersebut jatuh pada jika itu dipaksakan maka pernikahan tersebut akan mengalami tumpes (tumpas habis). Yang berarti juga pernikahan itu akan mengalami permasalahan yang sangat serius sampai pada titik habis-habissan. Tumpes rasa, tumpes harta bahkan akan sampai pada kematian.
Perhitungan weton yang baik untuk pernikahan adalah yang jatuh pada wiji, dan sri.
Perhitungan weton yang perlu dihindari adalah yang jatuh pada pegat, lara dan pati. Dan yang tidak boleh dilakukan (dilaarang keras) adalang yang perhitungan weton kedua calon mempelai jatuh pada hitungan 25. Yang adalah ketemu tumpes (habis-habisan), tumpes sampai keluarga besarnya. Tumpes hartanya, tumpes pertemanannya, kematian kedua pasangan dan keluarga besar pasangan.
6.PANTANGAN DUA KALI MANTU DALAM SETAHUN
Pernikahan adat Jawa apabila kakak beradik yang menikah di tahun yang sama. Karena apabila tetap dilangsungkan, maka dalam kepercayaan Jawa hal tersebut bisa membawa malapetaka :
Akan mengalami kegagalan pernikahan yang disebabkan oleh berbagai hal.
Dan apa bila pada saat pernikahan tidak terjadi apa-apa, kemudian hari kelak salah satu dari dua pasangan (4 orang) tersebut akan jatuh sakit keras yang berkepanjangan sehingga menjadi beban keluarga atau suatu hari kelak salah satu pasangan akan mengalami kegagalan berumah tangga (perceraian).
7.PANTANGAN MENIKAH DENGAN ORANG ATAU TETANGGA DEKAT SAUDARA IPAR.
Larangan menikah orang yang tinggal dekat saudara ipar (tetangga dekat saudara ipar) disebabkan oleh karena jika dipasakan salah satu orang tua pasangan tersebut akan meninggal dalam waktu dekat setelah pernikahan.
Ki Wiratirta mengakhiri pembahasan tentang Pantangan pernikahan Adat Jawa ini dengan kata-kata yang sangat tegas, “Kearifan lokal bukanlah isapan jempol belaka. Sesuatu yang menjadi aturan adat, tentunya dahulu pernah terjadi kasus-kasus yang menimpa masyarakat sehingga muncul peraturan atau larangan atau pantangan tersebut. Seperti halnya logika peraturan atau hukum modern. Peraturan atau larangan atau pantangan dibuat karena banyaknya kasus yang sudah terjadi…!”
Salam Budaya
Reporter : Eko Marwanto