FENOMENA SPANDUK LIAR DI SITUBONDO

Redaksi

SITUBONDO ,Cakra.or.id  – Spanduk-spanduk liar masih saja menghiasi sudut-sudut kota Situbondo. Terikat sembarangan di tiang listrik, tiang telepon, hingga melintang di tengah jalan dan simpang empat. Fenomena ini bukan sekadar gangguan visual—ia adalah cermin dari lemahnya penegakan Peraturan Daerah (Perda).

Pada bulan Ramadan lalu, Satpol PP sempat melakukan penertiban. Namun, itu pun bersifat terbatas dengan alasan klasik: keterbatasan personel karena menjalankan ibadah puasa. Setelah beberapa bulan berlalu, spanduk-spanduk kembali bertebaran seolah tak ada yang peduli. Penindakan yang dilakukan kemudian terasa setengah hati. “Sudah menjadi kebiasaan,” ujar salah satu warga.

Padahal, secara hukum, pemasangan spanduk tanpa izin di fasilitas umum, apalagi di badan jalan dan hingga menutupi rambu lalu lintas, jelas melanggar Perda. Namun anehnya, pelanggaran ini seolah dianggap remeh.

“Jika aturan sederhana seperti ini saja tak bisa ditegakkan, bagaimana kita bicara soal penegakan hukum yang lebih kompleks?” ujar seorang pengamat kebijakan.

Yang lebih mengkhawatirkan, tentu saja soal kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD). Spanduk tanpa izin berarti tidak membayar pajak reklame. Artinya, daerah kehilangan potensi pemasukan yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan. “Ini bukan cuma soal ketertiban, tapi soal kebocoran PAD yang tak boleh dibiarkan,” ujar seorang tokoh masyarakat.

Bahkan spanduk yang membayar pajak pun harus ditindak jika dipasang di tempat yang tidak diperbolehkan. Izin tidak lantas menjadi tiket bebas untuk merusak estetika kota dan mengganggu keselamatan pengguna jalan. Jalur dan zona reklame sudah ditentukan, selebihnya adalah pelanggaran yang wajib ditertibkan.

Menurut pengamatan warga, iklan dalam bentuk reklame permanen seperti cat pada dinding rumah, pagar, atau tembok-tembok kosong pun yang tak berizin ini adalah bentuk lain dari pelanggaran yang selama ini luput dari perhatian. “Ini juga seharusnya tak luput dari pengawasan,”

Baca juga
Monitoring dan Evaluasi Jaga Desa: Kejaksaan Negeri Jember Bina Kepala Desa di Sukorambi

Surabaya telah menunjukkan bahwa penegakan Perda bisa dilakukan secara tegas dan konsisten. Di sana, Satpol PP tak ragu mencopot spanduk liar dan memproses pelanggar. “Mengapa Situbondo tidak bisa meniru ketegasan itu?” tanya seorang warga.

Ketegasan bukan berarti kejam. Ia justru bentuk nyata penghormatan terhadap hukum dan keadilan. Sebab bila pelanggaran terus dibiarkan, ia akan tumbuh menjadi budaya. Dan ketika budaya pelanggaran mengakar, maka Perda tak ubahnya sekadar kertas mati.

“Situbondo butuh tindakan nyata, bukan sekadar penertiban seremonial,” tegas seorang pemerhati kebijakan publik. Satpol PP adalah garda terdepan dalam menjaga ketertiban kota. Kini masyarakat menuntut agar peran itu benar-benar dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Penegakan Perda bukan cuma soal menangkap orang dengan gangguan jiwa atau pengamen jalanan. Semua bentuk pelanggaran harus disapu bersih. Naik mobil patroli dari APBD bukan untuk sekadar gagah-gagahan keliling kota seperti karnaval, tapi untuk memastikan bahwa aturan ditegakkan tanpa pandang bulu.

Saatnya Situbondo bangkit. Hentikan toleransi terhadap pelanggaran. Bangun budaya tertib dan taat hukum. Karena wajah kota mencerminkan wibawa pemimpinnya

Chemoth